Selamat Membaca

Blog ini merupakan perwakilan lemari kecil yang menampung tumpukan buku-buku yang ada di kamar tercinta saya. Dengan senang hati saya menerima ajakan dan tawaran teman-teman yang ingin berbagi informasi buku, pinjam meminjam buku, bedah buku, launching buku. Kirimkan e-mail ke ikanuri@gmail.com bagi teman-teman yang berminat untuk berbagi mengenai kecintaan dan kegiatan yang berhubungan dengan buku.
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Senin, November 24, 2008

Mbeling











Buku : Mbeling

Penulis : Remy Sylado

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Ukuran : 14,5 x 19 cm

Halaman : 254 halaman

Harga : Rp.10.000,- (harga pameran)


Inilah buku pertama yang memuat puisi-puisi mbeling karya Remy Sylado, pencetus gerakan puisi mbeling, dari 1971 sampai 2003. Dipilih sendiri oleh sang penyair, 143 puisi dalam buku ini akan membuat kita tersenyum, tertawa terbahak-bahak, atau merenung. Namun jangan salah sangka, di dalam kelakarnya Remy sebenarnya sedang bersikap serius. Dia menelanjangi sikap feudal dan munafik masyarakat kita, terutama di kalangan pemimpin bangsa.


Karya Remy Sylado yang pertama kali saya beli dan miliki adalah buku tentang perdagangan wanita di Indonesia, Mimi La Mintuna. Buku Mbeling ini adalah buku karya Remy yang kedua yang saya beli dan miliki. Saya tidak tahu kalau ternyata beliau menulis puisi juga selain novel-novelnya ia tulis, antara lain: Cau Bau Kan, Paris Van Java, Menunggu Matahari Melbourne, dan masih banyak lagi.


Saya dapatkan buku puisi Mbeling ini saat event pameran buku beberapa minggu lalu (14 November 2008). Saya beli dengan seharga Rp. 10.000,-. Selain penawarannya yang murah, yang luar biasa lagi adalah isi buku puisinya. Saat saya membuka buku Mbeling ini saya tidak berhenti membaca sampai habis. Puisi-puisinya menyimpan makna dalam, walaupun banyak kata-kata yang ia tulis berkesan nyeleneh dan tidak sedikit pula cemoohan.


Buat saya karyanya luar biasa sekali, Remy tulis semua puisi ini secara lugas, tegas, terbuka, tajam, dan bermakna. Setiap kalimatnya memiliki arti dan pesan yang dengan mudah kita tangkap.


Tidak sedikit memang tulisannya berisi tentang kritik kepada masayarakat dan pemerintahan Indonesia. Memprotes, menyindir, mencemooh kelakuan masyarakat dan pemerintah bangsa yang bertopengkan kemunafikan. Tapi dari situlah puisi-puisinya menjadi karya yang luar biasa.


Berikut ini beberapa cuplikan puisi Remy Sylado pada buku Mbeling


Dendam Pada Imperialisme – Kolonialisme


Indonesia bangsa

Belanda bangsat


Bandung 1972 (Remy Sylado)



Telor-telor

Dua telor

Martabak special

Tiga telor

Martabak istimewa

Empat telor

Sepasang homosek


(Remy Sylado)



Dua Daya


Motivator

Berbicara tentang

Memberdayakan rakyat

Koruptor

Berbicara tentang

Memperdayakan rakyat


(Remy Sylado)



Sabtu, November 08, 2008

Buyat, hari terus berdenyut
















Buku : Buyat - hari terus berdenyut

Penulis : Denny Taroreh, Jamal Rahman; pengantar: AS Laksana

Penerbit : Banana Publisher

Ukuran : 21 x 21 cm

Halaman : 118 halaman

Harga : Rp. 60.000,-


Menurut saya buku ini buka yang sangat cantik. Didalamnya berisi hasil jepretan-jepretan DENNY SE TAROREH, dengan puisi yang cantik pula karya JAMAL RAHMAN dan KATAMSI GINANO.

Sang photographer mengabadikan gambar-gambar warga di Buyat Pante dengan luar biasa. Berawal Denny datang dan menembakkan kameranya pada hari ketika warga Buyat melakukan eksodus besar-besaran ke Duminanga, Juni 2005. Dari situ ia menyajikan kepada kita gambar-gambar dramatis yang terekam oleh kameranya pada saat itu. Orang-orang yang mengangkut barang-barang mereka. Wajah-wajah murung. Rumah yang dibakar. Denny memotret; Jamal menulis puisi. Buku mereka terbit dengan judul Eksodus ke Tanah Harapan.

Beberapa waktu setelah eksodus itu, Jamal dan Denny datang lagi ke Buyat Pante. Mereka memotret lagi. Tidak semua warga Buyat meninggalkan dusun mereka pada hari eksodus; sebagian warga yang eksodus pun beberapa waktu kemudian meninggalkan tanah harapan mereka dan pulang lagi ke tanah semula. Mereka kembali melaut dan merayakan tangkapan-tangkapan besar mereka. Anak-anak kecil bermain-main. Denny dan Jamal mengabadikan momen-momen keseharian itu.

Buku yang disajikan dengan indah, gambar-gambar yang memberikan pesan langsung dari warga Buyat Pante menghiasi tiap halamannya, dengan kumpulan-kumpulan kata indah tergores mendampingi gambar-gambar. Ditambah dengan pengantar yang dibuat oleh AS Laksana menambah makna arti dari isi buku yang disajikan ini makin dalam.

Sedikit cuplikan puisi-puisi Jamal dan Katamsi yang tergores di Buyat: hari terus berdenyut.


Harap

Aku telah berniat
Menjalin sejumput asa
Meski di hadapan
Hanya sebongkah harap
Dan di belakang
Seuntai mimpi

-Jamal Rahman, 2007-




Memang


Pilihan
Terus melangkah atau berpaling
Memang harus yang diabaikan

-Jamal Rahman, 2007-



Di mana Kau Kawan?


Aku belum bisa membaca almanak
Untuk tahu berapa musim telah merindukanmu
Bermain pasir dan pokok-pokok
Yang dihempas ombak di sini

-Katamsi Ginano, 2007-