Selamat Membaca

Blog ini merupakan perwakilan lemari kecil yang menampung tumpukan buku-buku yang ada di kamar tercinta saya. Dengan senang hati saya menerima ajakan dan tawaran teman-teman yang ingin berbagi informasi buku, pinjam meminjam buku, bedah buku, launching buku. Kirimkan e-mail ke ikanuri@gmail.com bagi teman-teman yang berminat untuk berbagi mengenai kecintaan dan kegiatan yang berhubungan dengan buku.

Rabu, Juli 16, 2008

Kerudungku Malang : Sebuah Percikan Permenungan

Dua hari lalu saya mendapatkan Email dari seorang teman baru (eterrycb@........) : "Mbak, ketika saya iseng-iseng browsing "Biarkan Kole Kole Terus Melaju" saya menemukan "Buku .. oh .. Buku" dan ingin berbagi buku lain berjudul "Kerudungku Yang Malang" yang diterbitkan oleh Kongregasi Suster-suster CB. Semoga bermanfaat. Salam kenal. Terry", yang berkunjung ke blog saya ini dan berbagi info buku yang berjudul Kerudungku Malang: Sebuah Percikan Permenungan.

Berikut ini sedikit ulasan mengenai buku Kerudung Malam : Sebuah Percikan Permenungan yang dikirimkan oleh Mba Terry.


Kerudungku Malang:
Sebuah Percikan Permenungan

Oleh: Fransiskus Borgias M., Drs.,MA.

Pengantar
Di sini, saya mau mengajukan beberapa hal penting. Pertama, sungguh menggembirakan bahwa akhirnya terbit seri kedua hasil karya para suster CB dengan judul menarik, Kerudungku Malang. Terbitnya buku ini adalah pertanda yang sangat baik, karena ini berarti kita semakin melek huruf secara fungsional. Kita tidak lagi berada pada tahap melek huruf literal. Artinya kita sudah bisa memakai huruf-huruf secara fungsional dalam rangka transformasi hidup dalam artian seluas-luasnya. Selain itu, menurut saya, kelancaran dan kemampuan menulis adalah pertanda kelancaran bertutur dan kelancaran berpikir. Sebentuk kemampuan menata cara berpikir yang tertuang secara tertulis. Jelas ini adalah loncatan besar dan penting. Sebab saya yakin peran kita di ruang publik akan ditentukan oleh kelancaran kita bertutur. Terbitnya buku ini adalah pertanda bahwa perempuan katolik mulai banyak berbicara, bersaksi tentang kehidupan.


Kedua, saya mau menceritakan pengalaman saya saat novisiat dulu sehubungan dengan perkenalan saya dengan Rm.Sindhunata, penulis pengantar buku ini. Pengalaman itu saya anggap sangat penting untuk disampaikan dalam konteks pergulatan Media-CB ini. Ketika baru tiga bulan meninggalkan kampung halaman untuk masuk novisiat OFM di Yogyakarta, kami semua keracunan ikan tongkol di Papringan. Maka kami diangkut dengan becak ke Panti Rapih. Ketika pusing menanti layanan di gawat darurat, seseorang mendekati kami dan menanyakan sesuatu. Kebetulan saya tidak begitu parah sehingga saya banyak menjawab pertanyaan dia. Besoknya, muncul berita di Kompas halaman satu, biarawan fransiskan di Papringan, keracunan tongkol. Ternyata yang berbicara dengan saya adalah wartawan Kompas. Orang itu ialah Fr.Sindhunata yang sekarang menjadi Rm.Sindhunata. Hari ini adalah pertemuan saya yang kedua dengan dia, tetapi bukan lagi antara wartawan dengan sumber berita yang keracunan tongkol, melainkan sebagai sesama narasumber. Saya ceritakan kisah ini dengan harapan dan menantang agar para suster CB berani menekuni profesi wartawati. Mengapa tidak? Saya yakin dan optimis bahwa biarawati-wartawati pasti mempunyai sumbangan khas dan unik.

Ketiga, catatan mengenai judul. Semula saya punya catatan khusus mengenai judul buku. Judul itu mendorong saya bertanya: Mengapa kerudung itu malang? Seakan-akan kerudung itu adalah sesuatu yang disesali. Tetapi setelah membaca konteks kisahnya, barulah tampak apa yang dimaksudkan dengan judul itu. Yang jelas ketika saya membacanya untuk pertama kalinya, saya langsung teringat akan serial sandiwara radio tahun 90-an, Ibuku Malang Ibuku Tersayang (IMIT). Tetapi apa yang tersirat di balik sandiwara radio ini bukanlah yang dimaksudkan dalam buku ini. Untung ada perubahan yang dibuat dalam poster sambutan pada hari H. Kerudungku malang, Selalu Kusayang. Tidak hanya malang, melainkan selalu disayang.

CB Media
Buku ini diterbitkan oleh CB-Media. Ini luar biasa. CB punya penerbit sendiri. Ini terobosan yang luar biasa besar. Ini sangat penting karena dengan adanya penerbit ini berarti CB mempunyai ambisi historis besar yaitu menulis dan mencetak buku sebagai bentuk komunikasi diri dan sebagai bentuk kerasulan. Ingat bahwa di level internasional ada juga para suster yang bergerak di penerbitan ini. Salah satu yang terkenal ialah para pastor dan suster Maryknoll itu. Juga Sisters of St.Paul yang mengkhususkan diri pada kerasulan media massa (penerbitan). CB menelusuri peluang dan kemungkinan baru ini.

Buku adalah sebentuk material culture. Seorang pemikir Amerika pernah berbicara tentang apa yang ia sebut sebagai material Christianity. Yang ia maksud ialah segala warisan kultural yang erat terkait dengan Kristianitas itu, terlebih yang secara jelas diilhami oleh insight dari iman dan spiritulitas Kristiani. Terbitnya serial buku ini (saya berharap ini bukan yang terakhir, bukan angat-angat tahi ayam, hanya dalam rangka ulang tahun dan pengenangan belaka, melainkan sebuah strategi jangka panjang dan berkelanjutan) adalah sebentuk material culture CB. Eksistensi buku sebagai material culture ialah bahwa ia bisa menjadi cultural bridge atau jembatan antar generasi. Buku yang kita bahas hari ini berisi kesaksian dan pengalaman hidup (life witness, life experience). Dalam artian itu, buku ini dan buku-buku lain serupa ini kelak menjadi memoria continua collectiva. Artinya ia menjadi kenangan bersama berkelanjutan, terus menerus, dari waktu ke waktu, dari angkatan ke angkatan. Buku ini akan menjadi sebuah mata rantai sejarah kesaksian dan simfoni pastoral para suster.

Dalam artian itulah kisah-kisah dapat menyelamatkan kita. Tetapi dalam arti apa? Menyelamatkan dalam arti bahwa kisah-kisah itu dapat memaknai hidup kita sekarang dan di sini. Saya yakin kisah-kisah itu juga dapat memaknai hidup orang lain di sekitar kita, maupun orang lain di masa yang akan datang. Kisah hidup adalah pertanggung-jawaban historis eksistensi kita di dunia ini. Pertanggung-jawaban itulah yang memaknai kehidupan secara keseluruhan. Pertanggung-jawaban itu juga yang dapat mendatangkan efek transformasi besar secara sosial dan eksistensial. Mengapa? Karena semua kisah itu adalah kesaksian dalam kata dan tindakan, dalam perbuatan nyata. Ini adalah kesaksian iman, iman yang tampak dalam perbuatan, iman yang dibuktikan dalam perbuatan, seperti kata Yakobus (Yak.2:20). Kisah membuat kita mempunyai kaitan, jaringan koneksi secara sosial dalam hidup ini. Kisah membuat kita tahu kita berasal dari mana, dan ke mana kita akan pergi. Itulah makna paling mendalam dan mendasar dari kisah sebagaimana ditegaskan antara lain oleh teolog seperti Robert J.Schreiter.


Simfoni Pastoral CB
Ketika masih kuliah teologi di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta, saya pernah membaca buku dari pengarang Perancis, Andre Gide, berjudul Simfoni Pastoral. Buku itu sangat indah dan menarik. Isinya ialah tentang karya layanan pastoral seorang pendeta yang memberi perhatian khusus pada seorang wanita buta bernama Gertrudis. Karena buta maka perempuan itu lebih banyak berdiam diri, dan berkesan seperti seonggok daging dari pada manusia. Tetapi berkat pendampingan pastoral sang pendeta, onggokan daging tadi benar-benar menjadi sempurna dan bahkan menjadi pemain piano handal.

Buku ini adalah Simfoni Pastoral suster CB, karena dalam buku ini dikisahkan pengalaman keterlibatan pastoral para suster CB khususnya di Timur Indonesia.

Dalam buku ini kita dapat melihat dan membaca bagaimana para suster CB terlibat dalam karya layanan pastoral terhadap orang sakit, orang kusta, orang bisulan, terluka, orang yang tersisih dari percaturan ekonomi. Bahkan juga orang yang buta huruf. Kehadiran mereka mendatangkan efek transformasi yang luar biasa bagi masyarakat di sekitar yang mereka layani. Jadi, ini adalah kesaksian pastoral para suster CB. Ini adalah partisipasi nyata para suster CB dalam karya pelayanan pastoral. Para suster CB sadar betul akan arti penting dari teks Mateus 25:31-40 itu. Apa saja yang kamu lakukan bagi saudaraku yang paling kecil dan hina-dina ini, kamu lakukan untuk Aku. Sebuah identifikasi diri dengan kaum kecil dan hina dina. Kalau dalam teologi pembebasan kita mendengar semboyan agung preferential option for the poor, maka seluruh buku ini adalah kesaksian nyata para suster CB ke arah teologi pembebasan. Bahkan ada suster yang berani mengubah ungkapan itu menjadi option with the poor.

Berkembang Mekar Di Manapun Berada
Para suster CB yang membagikan kisah dan pengalaman hidup dalam buku ini adalah misionaris domestik (disebut demikian juga oleh seorang penulis dalam buku ini). Kalau dulu para misionaris berasal dari Belanda, maka sekarang bisa berasal dari dalam negeri sendiri. Kebetulan dalam buku ini sebagian besar mereka adalah berasal dari Jawa. Sebagai misionaris mereka harus meninggalkan tanah kelahiran mereka, yang amat mereka cintai, dan harus berkarya di tanah yang jauh. Mereka tinggal di pengasingan, bahkan mungkin ada juga yang menganggapnya sebagai pembuangan.


Ketika membaca kesaksian seperti itu saya tiba-tiba teringat akan apa yang pernah saya tulis. Beberapa tahun silam saya menulis buku tentang kotbah-kotbah Antonius Padua. Salah satu renungan yang saya ulas dalam buku itu adalah mengenai hidup kudus. Antonius mengajukan prinsip sederhana: berkembang dan bertumbuh subur di mana saja kau berada. Jangan pernah menyesali tempat di mana kau berada. Jangan mengutuk tempat di mana kau berada. Melainkan mulailah berusaha memberi makna dari kehadiran anda di tempat di mana engkau berada dan hadir. Seperti halnya Antonius Padua sendiri, ketika sudah memutuskan untuk menjadi Fransiskan, ia taat saja pada pimpinannya. Walau ia doktor teologi dan pandai berkotbah, ia rela menerima penugasan di biara sebagai tukang cuci piring di dapur. Tetapi dasar permata, biarpun di taruh tempat tersembunyi, ataupun di lumpur sekalipun, ia akan bersinar. Itulah yang terjadi dengan Antonius. Ia bersinar dari tempatnya yang sederhana, untuk kemudian dipercayai dengan tugas-tugas yang lebih besar dan lebih berat lagi.

Salah satu hiburan paling menarik dalam menjalani karya layanan pastoral ialah mencoba menikmati keindahan alam raya di sekitar. Memang kontemplasi alam bisa menyeret orang ke dalam kemurungan, melankolik. Seperti yang dialami si suster yang rindu Jawa itu, yang karena itu pergi ke pantai dan menikmati laut sambil membayangkan bahwa di salah satu titik di kaki langit nun jauh di sana, terletak Jawa yang dambaannya. Tetapi, umumnya orang terhanyut dalam daya pesona mistik tatkala menikmati alam semesta. Hal itu tidak mengherankan karena kita pun bisa memuji dan memuliakan Allah lewat ayat-ayat alam, dan tidak hanya lewat ayat-ayat kalam. Hal itu sudah terbukti efektif dalam kitab suci. Simak pengalaman pemazmur 8 itu. Ia meloncat dari keindahan kosmis sampai kepada kesadaran akan keagungan pencipta, Khalik. Jadi, ia meloncat dari ayat-ayat alam menuju kepada seru segala alam, Allah sendiri.

Secara khusus saya sangat tertarik dengan pengalaman seorang suster yang dalam kesunyian malam Kamis Putih, ketika tidak bisa kembali ke Komunitas karena hujan tidak berhenti, akhirnya sekali lagi “terpaksa” bermalam di rumah ketua stasi. Untung bahwa dia menginap semalam lagi, karena pada malam itu, ia mendapat penghiburan yang tiada terkira indahnya. Malam itu ada pohon beringin di pinggir hutan yang terang benderang karena di pohon itulah kunang-kunang berkumpul, mungkin sedang musim kawin, mungkin juga sedang merayakan pesta. Yang jelas, kehadiran mereka malam itu, membuat pohon itu bercahaya, bak lilin paskah raksasa. Sebuah pengalaman mistik kosmik yang tidak akan dialaminya kalau sore itu hujan tidak berkepanjangan. Tiba-tiba suster sadar bahwa Tuhan selalu membuat indah segala sesuatu tepat pada waktunya (Pkht.3:11). Tinggal kita menunggu dengan sabar waktu Tuhan itu, chairos.

Mencintai Daerah Misi
Buku ini juga menggambarkan suatu perubahan sikap dan pandangan dalam memandang daerah misi. Sebuah paradigm-shift. Ada yang memandang daerah misi itu sebagai tanah asing, tanah pembuangan, tanah yang menakutkan. Maka muncullah dalam hati misionaris rasa takut akan daerah misi. Ini adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi, yang bisa dan biasa menimpa siapa saja tatkala untuk pertama kalinya melangkah ke terra incognita. Buku ini memberi kesaksian penting bahwa setelah lewat pengalaman dan pertaruangan yang nyata dengan kehidupan dan dengan manusia yang dilayani dalam karya layanan pastoral mulailah terjadi jatuh cinta, terjadi pergeseran, dari takut akan ke cinta akan daerah misi. Tanah misi lama kelamaan menjadi tanah air kedua, rumah kedua, yang amat dicintai. Bahkan ada cinta seperti si pemazmur itu yang bisa berkata: cinta akan rumahMu membakar hatiku (Mzm.69:17; Yoh.2:17).


Pergeseran ini penting digaris-bawahi, sebab daerah misi bukan penjara, ia bukan neraka. Daerah misi adalah ruang hidup, Lebensraum, kata orang Jerman, karena di sana ada manusia yang perlu disapa, dilayani, dan terutama dicintai, perlu diberi per-hati-an, diberi hati, misericordia, hati yang mampu ikut merasa perih, perihatin (itulah arti dasar kata misericordia dalam Latin). Sebab kekuatan seorang misionaris terletak dalam kenyataan bahwa ia mampu memberi hati kepada orang yang dilayaninya di tanah misi. Tanpa memberi hati, orang akan sulit betah tinggal dan melayani di suatu tempat tertentu. Yang ada hanyalah rasa kecewa dan frustrasi, dan kemandulan dalam hidup rohani.


Di sini saya teringat akan kesaksian hidup seorang pastor Fransiskan pertama dari Flores, P.Florianus Laot OFM. Ia membaktikan hampir seluruh hidupnya dengan bekerja di paroki pedalaman Manggarai, jauh dari keramaian, jauh dari kemewahan, jauh dari kemudahan seperti yang dinikmati Fransiskan lain yang bekerja di Jawa. Konon pada suatu hari ia dikunjungi oleh seorang Fransiskan lain yang juga berasal dari Manggarai, tetapi bekerja di sebuah keuskupan di Jawa Barat. Ketika Pastor dari Jawa itu tiba di pastoran Pater Flori, hari sudah malam. Tidak ada listrik, tidak ada televisi. Yang ada hanya bunyi ayam, bunyi kodok di sawah, dan jangkrik yang dilanda cinta bersemi. Semuanya serba sederhana dan alami. Sunyi. Sekali. Mengalami dan menyaksikan semua ini, pastor tadi bertanya kepada pastor Flori: “Flori, bagaimana kau bisa tahan di sini?” Dengan tenang pastor Flori menatap mata pastor itu dan menjawab: “Pater, saya tidak pernah tahan, saya hidup. Justeru karena saya hidup, maka saya tahan.” Dari cerita ini tampak bahwa memang ada pandangan yang berbeda. Yang satu memandang segala sesuatu di sekitar sebagai kesulitan sehingga ia mencoba bertahan. Yang lain (P.Flori) memandang segala sesuatu sebagai ruang hidup, tempat ia berada. Maka ia hidup.

Menjadi Misioner
Saya mau secara khusus membuat catatan tentang Flores. Pulau ini sejak awal menjadi daerah misi. Misionaris yang hadir di sana ialah SVD dan SSpS. Kehadiran suster CB mulai sejak tahun 70-an di Flores Timur. Di Flores Barat (Manggarai) baru mulai tahun 90-an. Dewasa ini, Flores menjadi sumber misionaris (imam, bruder, suster) yang hadir di pelbagai negara di dunia ini. Flores mengalami transformasi: dari daerah misi menjadi daerah yang mengirim misionaris. Kehadiran suster CB tentu memainkan peranan besar dalam hal itu walau mereka baru ikut belakangan dibandingkan dengan pastor SVD dan suster SSpS. Transformasi ini pertanda kematangan iman Kristiani di sana, bahwa iman Kristiani berurat-berakar di sana. Sebab dari sejarah gereja kita tahu bahwa di mana iman Kristiani berurat-berakar, dari sana akan muncul benih panggilan membiara, panggilan imamat. Itulah kehadiran transformatif biarawan-biarawati, imam, termasuk suster CB di dalamnya. Sebab tidak bisa disangkal bahwa kehadiran mereka mendatangkan efek transformasi kultural dan transformasi spiritual bagi orang setempat.


Dari sejarah gereja Barat kita tahu bahwa suatu saat Irlandia disebut sebagai white martyrs peninsula. Itu adalah julukan yang diberikan kepada Irlandia. Proses Kristianisasi Irlandia berlangsung agak belakangan dibandingkan dengan Roma. Bahkan misionaris berasal dari Roma. Itu sebabnya di Irlandia tidak terjadi kemartiran berdarah itu. Tetapi, Irlandia dikatakan menyumbangkan martir yang khas yaitu, martir tidak berdarah. Karena itu disebut pulau martir putih. Disebut demikian karena pada suatu masa, Irlandia penuh dengan biara (biarawan, biarawati). Berbeda dengan Kristianitas Eropa Daratan, kristianitas Irlandia itu berpusat pada kerahiban. Yang menjadi pemimpin bukan uskup melainkan abbas. Ini adalah monastery centered society. Gaya hidup seperti ini diharapkan mampu mendatangkan efek transformatif dan ilham hidup rohani, sosial, dan hidup liturgi umumnya. Seluruh tata hidup diatur menurut lingkaran tahun liturgi. Saya bermimpi, semoga suatu saat kelak, Flores itu juga akan menjadi white martyrs island. Dan itu terjadi berkat kehadiran para biarawan-biarawati di sana.

Percikan Filsafat Manusia
Buku ini, walau kisahnya sederhana, mengandung beberapa percikan filsafat manusia. Saya sadar akan hal ini ketika membaca pengantar dari Rm.Sindhunata.
Yang diutarakan di sini adalah upaya mengungkapkan insight beliau dengan bahasa dan kata saya sendiri.
Dalam buku ini kita akan melihat pelukisan mengenai manusia sebagai homo laborans. Nuansa yang terkandung di sini adalah kerja keras. Kita bisa membaca dari buku ini bagaimana para suster bekerja keras, pantang menyerah, tidak tunduk pada kesulitan dan kekurangan. Mereka bahkan terdorong menjadi kreatif dalam kekurangan dan kelangkaan. Mereka kreatif mencari dan menciptakan peluang. Mereka rela menderita di dalam karya pelayanan mereka. Selain homo laborans, ada juga citra manusia homo faber. Ya manusia adalah pekerja, yang sejak semula dipanggil untuk bekerja. Cukup kita baca kitab Kejadian itu maka kita akan yakin akan hal ini. Di sana dikatakan bahwa manusia diperintah Allah untuk mengolah bumi ini (Kej.1:26-28). Dengan bekerja manusia ikut ambil bagian dalam karya penciptaan Allah untuk mengubah dunia dengan ilham roh pembaharu yang suci (seperti didengungkan dalam lagu Datanglah Roh Mahakudus itu). Dengan bekerja, manusia melayani dan mengabdi sesama, mengabdi kepada kemanusiaan.


Hidup dan karya tidak selalu berjalan mulus dan lancar. Ada banyak kesulitan dan tantangan. Tidak jarang kesulitan dan tantangan itu membuat kita putus asa. Tetapi buku ini menampilkan citra manusia sebagai homo sperans, manusia yang berharap, to hope against all hopes. Para suster memperlihatkan cakrawala hidup iman yang mengandung harapan. Itu tidak lain karena ada kasih. Sebab seperti kata Paulus, demikianlah tinggal ketiga hal ini, iman, harapan, dan kasih, dan yang paling besar dari ketiganya adalah kasih (1Kor.13:13). Kasih itulah yang menimbulkan iman dan harapan. Iman dan harapan membuahkan optimisme. Karena itu orang tidak lumpuh atau terhimpit di bawah kesulitan dan tantangan hidup, termasuk tantangan di daerah misi, juga kekurangan misionaris itu sendiri. Dengan getar-getar nada pengharapan, para suster melabuhkan semuanya dalam samudera kasih Allah, kasih yang sudah lama tetapi selalu baru, kata Agustinus (Oh keindahan lama yang selalu baru, terlalu terlambat aku mencintaimu).

Orang bisa berharap karena hidup doa yang kuat dan mendalam. Buku ini juga menampilkan sosok manusia sebagai homo orans, manusia adalah makhluk pendoa. Ini adalah salah satu kekhasan manusia yang membedakannya dari ciptaan lain. Hanya manusia yang bisa berdoa dan mengungkapkan doa itu secara verbal. Dalam suasana doa orang merasa bahwa Tuhan hadir dalam setiap saat dan langkah hidup mereka. Mereka tidak pernah ditinggalkan sendirian. Seperti kata syair sebuah nyanyian Rohani yang akrab di telinga saya: I will never forget you my people, I have carved you on the palm of my hand, I will never forget you, I will not leave you orphan, I will never forget my own.
Keyakinan ini hanya bisa muncul dalam doa. (Walau tidak disangkal bahwa orang juga bisa gagal dan kecewa dalam doa). Orang merasa bahwa Allah bekerja secara tidak kelihatan, ada tangan ajaib, tangan yang tidak kelihatan, the invisible hand, sebagaimana diyakini pendiri Kongregasi, Ibu Elizabeth Gruyters. Tangan yang tidak kelihatan itu yang akan menentukan; dia yang membawa kemenangan, tangan yang tidak terkalahkan, tangan perkasa, tangan kanan Tuhan, the invincible hand, sebagaimana tampak dalam syair lagu ini: Tangan kanan Tuhan telah memperlihatkan kekuatan, tangan kanan Tuhan telah menjunjungku, maka aku tak akan mati, melainkan hidup abadi.

Di atas sudah diajukan sosok manusia pekerja, homo faber, homo laborans, dan baru saja dikemukakan sosok manusia pendoa, homo orans. Sebuah perpaduan yang sangat baik, yang sudah punya tradisi yang sangat panjang dalam sejarah Kristianitas, ora et labora, berdoalah dan bekerjalah, sebuah tradisi yang dimulai sebagai disiplin rohani oleh Benediktus, yang sangat ditekankannya kepada rahibnya, Benediktin. Sebagaimana sudah menjadi tradisi dalam sejarah hidup membiara, perpaduan itu juga ditampakkan sekali lagi dan terus menerus sekarang dan di sini. Dalam kesaksian hidup Suster CB, tampak secara kuat dan nyata bahwa doa adalah kekuatan kerja dan karya pelayanan. Tanpa doa, karya pelayanan menjadi hampa makna, karena tidak mempunyai roh yang mengilhami dan menjiwainya.

Selanjutnya kita juga merasakan adanya citra manusia sebagai homo ridens, yaitu manusia sebagai makhluk tertawa. Tertawa atau tersenyum adalah bahasa jiwa untuk mengakrabi dunia dan sesama. Kalau hari dimulai dengan tawa dan senyum, maka hari itu selanjutnya akan ditandai damai sejahtera. Tawa dan senyum adalah pertanda bahwa manusia sedang dilanda rasa senang, gembira. Dalam buku ini kita dapat menemukan banyak peristiwa yang menimbulkan daya dorong dalam diri kita untuk tertawa dan tersenyum. Misalnya, canda para suster dalam buku ini. Tetapi tidak hanya itu saja. Tertawa yang saya maksudkan di sini adalah termasuk kemampuan untuk menertawakan diri sendiri. Ini adalah bahasa lain dari kemampuan melakukan otokritik, kritik terhadap diri sendiri. Sebab kemampuan melakukan otokritik, adalah bentuk atau tanda kedewasaan dan kematangan serta kearifan diri. Sebab tidak semua orang mampu melakukan otokritik ini. Ada yang terhalang oleh keangkuhan yang terlalu besar.

Erat terkait dengan homo ridens ini adalah citra manusia sebagai homo ludens, manusia yang bermain, sebagaimana pernah dikembangkan dengan sebagai tema filsafat manusia oleh filsuf Belanda, Johan Huizinga. Hidup adalah bermain. Hidup adalah permainan. Walau tidak boleh dipermainkan, sebagaimana dikatakan oleh Nicolaus Driyarkara dalam sepenggal puisinya tentang main, bermain, dan permainan. Citra homo ludens itu tampak dalam beberapa tulisan dari para suster ini. Menghadapi hidup ini sebagai sebuah permainan, bisa mendatangkan efek sukacita dalam hidup. Sukacita dalam hidup bisa membuat hidup itu menjadi ringan untuk dijalani. Tidak lagi menjadi beban, juga bukan sebuah hukuman ala Sisiphos.

Menanti Ayat-ayat Cinta Biarawati?
Saya harus jujur membahas buku ini. Saya harus mengatakan bahwa masih ada yang kurang atau tidak tampak ke permukaan dalam buku ini. Mungkin ia hanya berada pada arus bawah. Yang saya maksudkan ialah bahwa dalam buku ini tidak ada kisah mengenai Suster jatuh cinta, pengalaman mencintai dan dicintai. Saya kira ini sangat perlu, pertama, karena suster adalah manusia, perempuan, yang punya rahim, yang bersifat rahim. Kedua, karena kalau pengalaman manusiawi dan ilahi ini ditampilkan, maka akan memberi kesan kepada umat, sisi yang amat manusiawi dari kehidupan biarawan, biarawati. Yang jelas mereka bukan malaekat, walau mereka harus hidup seperti malaekat, yaitu tidak kawin dan tidak dikawinkan (bdk.Mat.22:30).

Saya menekankan hal ini karena terilhami oleh sebuah buku yang pernah saya baca dan terjemahkan. Ada seorang pengarang Fransiskan Amerika bernama Murray Bodo OFM. Menurut pengakuannya ia pernah mengalami krisis panggilan, dan diduga krisis itu terkait dengan pengalaman jatuh cinta. Ia mencoba mengolah pengalaman itu dengan menggali misteri hubungan Fransiskus dan Clara. Hasilnya? Ia berhasil menulis dua buku yang sangat bagus. Yang satu mengenai Fransiskus; yang lain mengenai Clara. Kedua buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Hasil terbaik ialah, ia berhasil mengolah krisis itu sehingga menjadi sesuatu yang menyuburkan hidupnya.

Tentu dalam pengalaman seperti ini ada perasaan sepi. Pengalaman itu direfleksikan secara mendalam sehingga menjadi ruang sunyi dan suci untuk menyuburkan hidup batin dan hidup rohani. Hati manusia tercipta untuk mencinta, karena manusia adalah citra Allah kasih, Deus est Caritas, kata Yohanes (1Yoh.4:8.16), yang menjadi judul ensiklik pertama Paus Benediktus XVI. Pengalaman jatuh cinta adalah wajar, manusiawi, dan sekaligus ilahi. Sebab Allah sendiri yang menggerakkan manusia untuk saling jatuh cinta, dan untuk saling mencintai. Tetapi dalam konteks hidup perawan demi kerajaan Allah, panggilan mencinta itu ditutup atau tidak dimungkinkan. Namun hakekat cinta tetap ada. Dari situlah muncul pengalaman sepi. Tetapi kesepian itu bisa menyuburkan dan menghidupkan, bahkan bisa menghidupkan cinta itu sendiri. Itulah sebabnya ada seorang pengarang rohani yang berani berkata bahwa loneliness is for love. Kesepian dan kesendirian adalah dimaksudkan untuk membangun cinta.

Alangkah baiknya kalau pengalaman unik jatuh cinta ini disharingkan juga. Sebab hanya para biarawan dan biarawati sajalah yang bisa melakukan hal itu. Bagaimana hati ditutup untuk mencintai, tetapi sekaligus terbuka untuk cinta dan mencinta juga. Paradoks bukan. Tetapi itu kenyataannya. Problema cinta biarawan dan biarawati adalah bagaimana berjuang untuk tidak mulai memiliki satu orang secara khusus dan eksklusif. Pengalaman itu hanya dimiliki oleh mereka. Kalau kisah cinta seorang suami dan isteri, sudah banyak yang mengisahkannya. Kalau kisah perjuangan cinta dan kesetiaan dan pengorbanan dalam relasi suami isteri sudah banyak yang mengisahkannya. Kalau kisah perjuangan cinta dan kesetiaan seperti dalam film Ayat-ayat Cinta itu sudah banyak yang mengisahkannya. Kisah calon biarawati yang keluar karena mencintai seorang pria, sudah ada yang mengisahkannya dan bahkan membuatnya menjadi film musikal yang sangat terkenal. Tetapi persoalan cinta para biarawan dan biarawati pasti itu sangat unik dan sangat problematik. Sebab mereka ditakdirkan untuk mencinta tetapi tidak untuk memiliki, misalnya dalam bentuk perkawinan. Itulah dinamika dan tantangannya.

Penutup
Akhirnya, sekali lagi saya harus mengatakan bahwa seluruh buku ini adalah pelukisan sangat sederhana mengenai hidup nyata para biarawati CB. Sebuah pelukisan yang sangat realistik. Di sana terkandung sukacita, harapan, ketakutan, kecemasan. Ada cinta dan perjuangan, ada putus asa, ada kecewa, ada protes, ada pemberontakan. Ada terang, ada gelap. Buku ini mengandung ucapan syukur atau eucharistia para suster CB. Ada perjuangan. Kekuatan buku ini, yang sederhana, terletak dalam kenyataan bahwa buku ini berhasil memberi gambaran para suster sebagai manusia biasa. Namun, mereka punya semangat bekerja dan semangat pelayanan yang sangat tinggi. Luar biasa. Itu tidak lain karena mereka punya daya kekuatan ekstra karena merasa dirahmati Allah senantiasa. Dalam buku ini, tampak bahwa siapa menabur kasih akan menuai kasih, sukacita, damai sejahtera. Siapa yang hidup di dalam roh akan menghasilkan buah-buah Roh. Akhirnya, buku ini juga membuktikan sebuah tesis biblis yang sangat terkenal ini: barang siapa setia dalam hal-hal kecil, kepada mereka akan dipercayakan hal-hal besar. Para suster menjadi besar justeru dari dan karena hal-hal kecil.


Daftar Pustaka:
1). Andre Gide, Simfoni Pastoral, PT Jembatan, Jakarta, 1987.
2). Eugene Kenedy, Loneliness for Love,
3). Murray Bodo OFM, Clara, Cahaya Dalam Taman, Nusa Indah Ende, 1996.
5). Robert Schreiter, Ministry of Reconciliation, Maryknoll, Orbis Books, 1993.
6). Hetty Sriwijayanti, Biarkan Kole-kole Terus Melaju, Visi Media, 2007.
7). Hetty Sriwijayanti, Kerudungku Yang Malang, CB-Media, 2008.
8). Fransiskus Borgias M., Devosi Santo Antonius, Yayasan Pustaka Nusatama, 2005.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

apakah sudah baca kesaksian martin bishu pastor dari flores yang belasan tahun berkerja untuk kaum miskin di paraguay dan menjadi sobat presiden 'pastor orang miskin" fernando lugo.


Salam hangat dan silah mampir

hikayat bulan adalah hikayat bocah-bocah bahagia
tak hirau berlarian mengejar bayang
di pangkuan bunda bumi
tempat padi menguning dan panen berlimpah
bukan milik sendiri
tempat sawah mati musim bencana
sepi sendiri


hikayat bulan adalah hikayat mimpi
bulan bundar negeri bahagia
ada nyanyi sunyi pada jutaan kaum papa
di tanah yang mati
di air yang mati
negeri surga yang mencekik